Apakah kita saat ini masih memerlukan bank? Mungkin dengan cara pandang konvensional, jawaban dari pertanyaan tersebut adalah “Ya, kita masih memerlukan bank”. Mari kita bahas satu per satu fungsi bank yang semakin tergerus dengan adanya fintech company atau jalan lain dengan muara yang tak jauh beda.
Apa itu Fintech Company?
Sebelum kita masuk ke alasan mengapa fintech dapat menggoyang industri perbankan, terlebih dahulu kita bahas apa itu fintech. Menurut Bank Indonesia, fintech atau financial technology adalah hasil gabungan antara jasa keuangan dengan teknologi yang akhirnya mengubah model bisnis dari konvensional menjadi moderat, yang awalnya dalam membayar harus bertatap-muka dan membawa sejumlah uang kas, kini dapat melakukan transaksi jarak jauh dengan melakukan pembayaran yang dapat dilakukan dalam hitungan detik saja.Menurut Bank Indonesia pula, fintech dibagi ke dalam empat kategori besar, yakni (1) payment, clearing, and settlement, (2) e-aggregator, (3) risk management and investment, (4) peer to peer lending.
Bank sebagai tempat meminjam uang (sumber hutang)
Pada kenyataannya, bank tak lebih dari sekadar “lintah darat berdasi dan tersertifikasi”. Mungkin memang tak nyaman buat didengar, tapi itulah realitanya. Bank memerlukan jaminan, entah itu sertifikat tanah, BPKB, atau barang berharga lainnya. Dalam menagih, bank tak ubahnya rentenir yang menyewa “perusahaan” pihak ketiga untuk melancarkan intimidasi mulai dari yang lemah lembut hingga yang berujung pada kekerasan.Bedanya, bank lebih pintar. Bank tak akan meminjamkan orang yang memang tak mampu membayar, ditambah kepastian bahwa barang agunan akan jauh lebih tinggi nilainya dibanding nilai pinjaman.
Di sinilah peran fintech sebagai p2p lending company. Beberapa UKM sebenarnya sangat-sangat potensial dalam bertumbuh, namun tidak cukup kuat jika ingin mengajukan modal ke bank. Sedangkan kalau mengajukan ke fintech company, kemungkinan modal (yang kecil) dapat didapat dengan jaminan “kepercayaan” sahaja. Mungkin UKM nya kurang seksi di mata bank, tapi cukup prospektif jika dilihat dari kacamata investor langsung. Dengan adanya fintech company, maka kebutuhan dunia permodalan bisa sedikit terakomodir.
Bank sebagai tempat menabung
Nyatanya, bilai dihitung dengan lebih seksama, tak ada orang kaya yang menabung terlalu banyak di bank. Rugi. Cara terbaik agar uang menjadi berlipat adalah menggunakan uang untuk kegiatan bisnis. Bukan sekadar mengharap bunga bulanan (terlepas dari riba dll), karena valuasinya kecil. Di sinilah banyak fintech company mengambil potongan pie, membuat instrumen investasi yang return-nya lebih besar dari deposito sekalipun, yang tentu dibarengi dengan risk yang lebih besar.Bank sebagai penyedia layanan transaksional
Lagi-lagi dengan kehadiran fintech company, sebagian porsi fungsi bank yang ini bisa tergantikan. Bayar tagihan air, listrik, internet, kirim uang, beli pulsa dan sejenisnya, tak butuh bank lagi. Menurut data tahun 2017, orang Indonesia yang memiliki akses ke bank tak lebih dari 50 persen. Artinya, lebih dari separuh masyarakat negara ini masih mengandalkan cara-cara jadul dalam bertransaksi. Entah itu menggunakan uang tunai, via kasir minimarket, atau cara konvensional lainnya.Bank sebagai issuer kartu
Ini agak aneh, karena sebetulnya ada beberapa company yang punya kapabilitas untuk menjadi issuer kartu, baik itu kartu untuk uang elektronik, atau kartu kredit. Tak melulu harus via bank. Karena regulasilah yang membuat kita harus “berurusan” dengan bank, dan ini sebentar lagi akan bergeser.ATM kan masih dimiliki bank?
ATM-nya mungkin iya, tapi jaringan distribusi uang tunai tak melulu harus lewat kotak berkaca yang di dalamnya ada AC 1/2 PK penghabis listrik, ditambah “juru parkir” ilegal. Kita bisa rasakan bahwa uang tabungan kita masih bisa digunakan tanpa harus pergi ke ATM. Paradigma penggunaan uang elektronik seakan mengesampingkan peran dari uang kertas yang (meminjam istilahnya PM Malaysia) hanya jadi sekadar toilet paper.Jadi, kita sebetulnya tak butuh-butuh amat dengan bank. Keamanan berinvestasi, kemudahan pengajuan modal, keuntungan yang kompetitif, semuanya pada akhirnya akan tergantikan seiring waktu. Tentu pendapat ini hanyalah pendapat pribadi. Pinjam modal (hutang) untuk usaha tak melulu harus lewat bank, karena kalau jaringan pertemanan sudah luas, kita bisa cari investor dari kalangan sendiri. Selain lebih fair, dengan memotong “jalur distribusi” maka harapannya kita tidak keluar biaya ekstra untuk “broker” alias makelar dalam wujud bank.
Pada akhirnya, Bank hanya akan menjadi sebuah lembaga obsolete seperti kantor pos, yang ketika dia tidak turut berevolusi dan hijrah untuk berbenah, maka lambat laun fungsinya akan tergeser sedikit demi sedikit. Mungkin tidak sepenuhnya tergantikan, tapi minimal terdisrupsi.
Silakan berkomentar, insya Allah akan kami jawab. Terima kasih