Kalau Anda punya anak usia sekolah, dan diberi uang jajan Rp 500, maka reaksinya kurang lebih akan kecewa. Karena uang jajan Rp 500 ini kalau dibelikan jajanan, paling-paling dapat permen 3 butir saja. Berbeda dengan ketika dulu saat penulis sekolah, uang jajan penulis cukup Rp 100, dan itu bisa beli bakwan 3. Jika Anda juga merasakan hal tersebut, sadarlah bahwa kita sama-sama sudah tua.
Ilustrasi di atas menggambarkan inflasi mata uang. Senyatanya uang itu tidak bersifat abadi nilainya, melainkan akan selalu tergerus zaman dan akan semakin tidak ada harganya. Jadi bukan harga barang-barang yang semakin mahal, tapi sebetulnya fungsi uang sebagai alat tukar minimal tidak bisa memuaskan dan memenuhi kebutuhan kita saat ini.
Kita bayangkan saja bila naik gaji berkisar 5-6 persen, dan inflasi per tahun berkisar di angka yang itu-itu juga, maka senyatanya kenaikan gaji tersebut bukanlah apresiasi atas prestasi dan masa kerja karyawan, tapi semata-mata karena rasa iba dari perusahaan yang berupaya semua karyawannya bisa bertahan hidup.
Naik gaji hanyalah sekadar ilusi finansial.
Lalu mengapa gaji kita masih dalam bentuk uang? Mengapa kita enjoy saja diberi transferan, yang sungguh hanya sekadar data berwujud angka-angka di dalam komputer? Bagaimana menuju masyarakat madaniyah yang diharapkan Rasulullah sholallahu 'alaihi wassalaam terjadi, jika kita selama ini tertipu oleh uang yang sebetulnya hanyalah (meminjam istilah Mahathir Mohamad) tisu toilet belaka?
Solusi dari isu di atas, dan semua isu di dunia ini, sejak awal bermulanya dunia sampai hari kiamat kelak, sebetulnya sudah ada di Al-Quran dan As-Sunnah. Iblis dan keturunannya memahami betul bahwa segala petunjuk dan penyelesai masalah ada pada Quran. Sehingga mereka berusaha sekuat tenaga agar kita umat islam senantiasa jauh dari sumber petunjuk itu. Minimal ada keengganan untuk membaca, apalagi mengkaji isinya.
Jadilah kita ini bodoh karena jelas-jelas telah dibodohi iblis dan bala tentaranya.
Mari kita menilik salah satu hadits berikut:
”Ali bin Abdullah menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, Syahib bin Gharqadah menceritakan kepada kami, ia berkata : saya mendengar penduduk bercerita tentang ’Urwah, bahwa Nabi S.A.W memberikan uang satu Dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau; lalu dengan uang tersebut ia membeli dua ekor kambing, kemudian ia jual satu ekor dengan harga satu Dinar. Ia pulang membawa satu Dinar dan satu ekor kambing. Nabi S.A.W. mendoakannya dengan keberkatan dalam jual belinya. Seandainya ‘Urwah membeli debupun, ia pasti beruntung” (H.R.Bukhari)Dari hadits di atas, kita bisa melihat bukti bahwa nilai emas dan perak, sejak zaman Rasulullah Sholallahu 'alaihi wassalaam, relatif stabil. Saat ini kita masih bisa mendapatkan kambing dengan harga 1 dinar (2,2 - 2,3 juta rupiah). Pertanyaannya, 10-20 tahun yang akan datang, apakah kita masih bisa membeli seekor kambing dengan harga Rp 2,2 juta? Saya rasa tidak, jika melihat histori harga kambing 10-20 tahun ke belakang.
Sistem keuangan yang saat ini kita alami, tentu mengutamakan "toilet paper" karena yang berhak mencetak uang kertas adalah orang-orang itu juga. Mencetak uang dari angin. Mereka mengetahui betul bahwa uang kertas itu lambat laun tidak akan ada nilainya. Semu. Coba lihat model investasi mereka, tentu bukan menabung uang kertas secara konvensional, tapi dibelikan emas, perak, properti (tanah), dan lain sebagainya yang lebih abadi.
Mari kita bersama-sama kembali ke sistem keuangan berbasis emas dan perak. Insya Allah.
Silakan berkomentar, insya Allah akan kami jawab. Terima kasih