Orang Islam Dilarang Miskin (2)

Di tulisan pertama, Orang Islam Dilarang Miskin, kita sudah belajar alasan mengapa orang Islam itu tidak boleh miskin. Ruang lingkup "orang Islam" dalam tulisan ini pun boleh jadi lebih dikhususkan pada "orang Islam yang tinggal di Indonesia", karena toh banyak sekali orang Islam di Arab Saudi, Asia Tengah, bahkan tetangga kita Malaysia, yang tajir-tajir. Jadi yang salah itu sebenarnya bukan "orang Islam" secara umum, tapi orang Islam negeri ini. Apa sih yang salah? Mengapa mayoritas kita miskin?

Pemahaman agama yang salah

Kita mengaku orang Islam tapi kita tak tahu apa-apa soal agama ini. We have no idea what we believe in. Sejak SD kita diajari untuk zuhud, dan percaya bahwa zuhud itu adalah anti pada kemapanan dan menolak kehidupan duniawi. Padahal pada zaman Rasulullah, sahabat-sahabat beliau seperti Utsman bin Affan, Az-Zubayr, dan Abdurrahman bin 'Auf, semuanya kaya raya. Mereka memiliki kebun yang banyak, hewan ternak, dan uang berlimpah. Apakah mereka tidak zuhud?


pemukiman kumuh

Tentu saja para sahabat zuhud. Zuhud itu dunia datang pada kita, lalu kita merasa qona'ah (cukup) dan berinfak untuk dakwahnya jauh lebih besar. Misal dapet untung Rp 10 milyar, nyumbang Rp 9 milyar. Masih sisa banyak, Rp 1 milyar, tetep disebut kaya. Sedangkan kita penghasilan pas-pasan buat makan, lebihnya dikit, kalau Jumatan nyumbangnya koinan aja. Terus kalau ditagih zakat rasanya berat, padahal setahun sekali.

Pas ditanya, kenapa kok tetep miskin, "iya kan hidup ane zuhud". Ini sih zuhud kelas gembel bin salah kaprah. Udah nanggung miskinnya pol jadi ngaku-ngaku zuhud aja biar agak kerenan dikit. Kita ini sabar menjadi miskin, tapi dengki kalau melihat orang lain berkelimpahan harta. Kalau lihat ustad jadi kaya kita protes, kok ustad hidupnya mewah. Padahal kita tak tahu, boleh jadi ustad itu habiskan hartanya lebih banyak untuk kemanusiaan.

Kalau antum tahu itu di area Blok M ada mall lumayan besar, di lantai 5 nya ada masjid yang juga luas. Coba kalau yang punya mall orang kafir, mana mau dia ada masjid di dalam pusat perbelanjaan. Mending disewain untuk toko. Itulah bedanya harta di tangan orang sholeh dan di tangan orang kafir. Kalau sekelas kita tiba-tiba dapet rejeki mendadak pasti mikirnya cuma sekadar jalan-jalan ke Eropa atau beli mobil. Visinya hanya sekadar nafsu pribadi dan tidak peduli dengan dakwah. Jelas saja Tuhan males ngasih kita harta banyak-banyak. Mungkin Ia tahu kita ini makhluk tak tahu diri.

Tidak berorientasi menjadi orang kaya

Rata-rata kita berkarakter orang miskin. Saat kita lihat orang kaya punya helikopter pribadi, kita merasa kita tidak mungkin punya hal yang sama. Padahal kalau terjadi bencana kita bisa langsung angkat telepon ke pilot helikopter, kirim bantuan via udara lebih cepat daripada dari darat. Saat kita lihat rumah yang bagus, kita tak berani bermimpi. Saking tak ada duit, atap rumah kita bocor tidak dibetulkan, jadi kalau jam 3 pagi ada hujan kita bangun buat ngepel dan menadah air pakai ember, padahal harusnya muslim bangun jam 3 pagi ya sholat malam biar surganya nanti agak tinggian dikit.

Saya pernah masuk lobi Hotel Indonesia K*mpinski, karena ada teman (orang kaya) minta tolong pesankan kamar. Karena miskin ya penampilan saya apa adanya. Oleh security saya ditanya macam-macam, mungkin disangka teroris dan bawa-bawa ransel isinya bom. Masya Allah, pikir saya. Itulah akibatnya kalau jadi miskin, baju dekil dandanan kumuh. Saya lihat pria wanita lalu lalang bajunya bagus dan wangi. Itulah enaknya jadi orang kaya, tidak dicurigai sebagai orang jahat.

Malas, Boros, Pengeluh

Kita lihat orang Cina mengapa hidupnya berkecukupan, karena mereka pekerja keras. Boleh jadi mereka tak percaya ada kehidupan setelah kematian. Tidak percaya surga. Jadi satu-satunya tempat untuk bahagia hanya di dunia. Mereka bangun pagi jam 4 atau 5 subuh pergi ke pasar, lebih awal dari kita. Padahal kita ini punya kewajiban untuk ibadah. Orang Cina juga hemat. Hari ini untung Rp 10 ribu buat makan Rp 5 ribu. Besok untung Rp 20 ribu buat makan tetap Rp 5 ribu.

Kita orang Islam itu sudah penghasilan tak seberapa, pengeluarannya banyak yang tak penting. Rela kredit mobil tapi rumah masih mengontrak di gang sempit banyak nyamuk kalau hujan dikit air masuk ke dalam. Mengeluh biaya sekolah mahal tapi tiap hari habis 2 bungkus rokok sehari. Karena miskin makanannya tak jauh-jauh dari ikan asin, jadilah semakin darah tinggi dan ngomel-ngomel setiap mau tidur.

Tidak melek finansial

Menurut OJK, hanya sekitar seperlima dari penduduk Indonesia yang melek finansial, artinya memiliki pengetahuan tentang keuangan yang cukup. Dengan melek finansial, kita bisa mengambil keputusan yang tepat terkait keadaan keuangan pribadi. Jika menikah tahun ini, dan punya anak setahun atau dua tahun kemudian, berapa dana yang harus disisihkan untuk biaya persalinan? Dana untuk sekolah anak diambil dari mana? Pilih sekolah negeri atau swasta? Jika ada kelebihan uang, diinvestasikan ke mana? Boro-boro bisa jawab, besok bisa makan aja udah sukur.

Yang juga jadi masalah, mayoritas kita tidak paham berbisnis.

Abdurrahman bin 'Auf adalah salah satu sahabat nabi yang jago berbisnis. Ketika berhijrah (beliau berusia 10 tahun lebih muda dari Rasul, berarti saat hijrah usianya sekitar 42-43) beliau tak membawa apa-apa. Semua asetnya disumbangkan. Ia dipersaudarakan dengan Sa'ad dari Madinah (termasuk kalangan orang kaya juga). Sa'ad menawari separuh kebun/harta pada beliau. Tapi Abdurrahman bin 'Auf menolak, dan cuma bilang, "Tunjukkan aku di mana pasar".

Ketika meninggal, beliau meninggalkan 100 ribu dinar (menurut riwayat Ibn Katsir 80ribu dinar) pada masing-masing istrinya. Istrinya ada 4, jadi total 400ribu dinar. Karena istri menurut hukum waris mendapat bagian seperdelapan (kalau ada anak), maka aset keseluruhannya adalah 400ribu dikali 8 = 3,2juta dinar. Kalau 1 dinar sama dengan 4,25 gram emas, dan segram emas = Rp 480ribu, maka total kekayaannya adalah sekitar 6,5 trilyun rupiah. Ini belum termasuk wasiat beliau, 40 ribu dinar untuk 100 peserta perang Badr.

Jadi, sejak hijrah di umur 43 sampai wafatnya umur 73, atau selama 30 tahun, kita bisa bayangkan berapa banyak yang beliau kumpulkan. Seandainya Abdurrahman bin 'Auf ikut The Apprentice jaman sekarang, mungkin nggak ada yang bisa ngelawan beliau.

Mendapatkan Kartu Kredit UOB Platinum One Card

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kartu kredit UOB Platinum One Card. Kartu kredit UOB tipe ini sepertinya adalah tipe yang, setidaknya menurut penulis, agak "aneh bin salah kaprah". Ketika kita menuju website bank UOB Indonesia (dulunya bernama UOB Buana), terdapat informasi tentang tiga tipe kartu kredit : Preferred Platinum, One Card, dan Lady's Card.

kartu kredit
Ilustrasi Kartu Kredit

Platinum-platinum-an ala UOB

Platinum yang selama ini orang anggap sebagai kartu kredit kalangan berada dan lebih praestigiosus alias lebih berjumawa dibanding Gold apalagi Silver, mungkin dijadikan marketing trick. Bodo amat kalau keuntungan/privilege nggak seberapa, plus limitnya hanya cukup buat belanja di Alfamart. Yang penting design kartu keren, terkesan eksklusif, dan ada tulisan 'PLATINUM'. Jadi, mungkin One Card ini termasuk tipe Gold yang di-'Platinum'-kan. Dan Preferred Platinum itulah yang sebenarnya kartu kredit Platinum versi UOB. Sampai sekarang pun penulis belum mendapatkan informasi yang benar.

Meragukan Prosedur Aplikasi Kartu Kredit

Setelah kita berhasil membuat kartu kredit pertama, bersiaplah ditelpon oleh sales kartu kredit dari bank yang berbeda (yang bahkan namanya mungkin baru pertama kali kita dengar), agen asuransi, penawaran kredit tanpa agunan, sampai travel agen berbagai perusahaan. Anggap saja data Anda sudah bocor, kehidupan pribadi Anda sudah berada di tangan orang-orang perbankan.

Ingat aturan tak tertulis aplikasi kartu kredit : semakin berharap, maka semakin besar peluang aplikasi Anda ditolak. Demikian pula sebaliknya. Anda bisa saja tidak tanda tangan surat permohonan aplikasi kartu kredit, tidak memiliki nomor telepon rumah, dan tidak memiliki slip gaji yang nominalnya di atas Rp 10 juta per bulan. Mengapa harus lebih dari Rp 10 juta per bulan? Karena orang yang penghasilannya kecil tidak boleh punya kartu kredit lebih dari 2.

Keuntungan One Card UOB

Satu dari beberapa keuntungan yang dijanjikan oleh kartu kredit One Card UOB adalah program cash back 3% + 10%. Namun program ini, layaknya program marketing kartu kredit lain, terlihat rumit dan membingungkan. Cash back 3% didapat ketika total transaksi per bulan >= Rp 5 juta dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut. Sedangkan cash back 10% adalah cash back yang dihitung dari bunga yang dibebankan. Yang lebih rumit lagi adalah transaksi yang diperhitungkan tidak berasal dari program cicilan, cash on phone, dan tarik tunai.

Free Annual Fee Seumur Hidup Tanpa Syarat (?)

Seharusnya beban iuran tahunan kartu kredit One Card dari UOB adalah Rp 550ribu per tahun. Dari sales via telepon, saya dijanjikan untuk dibebaskan dari beban itu. Mengingat Om Priyadi pernah memiliki pengalaman buruk dengan tagihan iuran tahunan UOB, apakah itu membuat kita jadi percaya dengan percakapan sales kartu kredit via telepon?

Jika memang banyak orang beramai-ramai minta iuran tahunan digratiskan, dari mana bank akan membayar semua biaya operasional dari kartu kredit? Akankah bank hanya berharap banyak sekali orang memakai kartu kredit lalu menunggak dan membayar bunganya? Mengingat mudahnya membuat kartu kredit (tanpa harus ada slip gaji dan nomor telepon rumah), tidakkah ini membuat kita berpikir : suatu saat ini negara ini akan collapse karena hutang yang menggunung karena nasabah tak mampu membayar tagihan?

UPDATE : Free Annual Fee tidak berlaku, saya tetap ditagih iuran tahunan.