Alasan Salah Kaprah : Saya Tidak Punya Bakat Bisnis

Salah satu alasan yang sering dijadikan orang saat ditanya mengapa tidak terjun menjadi pengusaha adalah
Saya tidak punya bakat bisnis...
Alasan ini sedemikian ngetop sehingga dijadikan pembenaran bagi banyak sekali orang. Kalau kita cermati lagi, sebenarnya bisa atau tidaknya seseorang berbisnis tidak ada kaitannya dengan gen, keturunan, atau skill bawaan lahir. Jadi, celetukan "Ah, dia kan nurun dari orang tuanya yang pengusaha, wajar saja lah.." agak aneh di telinga saya.


Kita tidak pernah mendengar orang berkomentar, "Dia kan anak karyawan, jadi besarnya juga jadi karyawan". Menjadi karyawan, sama seperti menjadi pengusaha, juga bukan bakat atau sifat lahir. Ketika ada pengusaha yang kebenaran orang tuanya adalah juga pengusaha, boleh jadi "dilatih" untuk menjadi pengusaha sejak kecil. Misalnya, karena sering melihat orang tuanya jaga toko, melihat berbagai macam model transaksi, dll.

Skill bisnis, layaknya skill-skill profesi lainnya, sebenarnya bisa dilatih dan dipelajari. Saya ulangi, keahlian berbisnis bisa dipelajari. Mengabaikan rasa malu saat berjualan, kemampuan komunikasi verbal, memahami perbedaan dan spesifikasi produk, semua hal itu sebenarnya bisa dipelajari sambil jalan. Hanya memang perlu waktu, layaknya kita belajar hal-hal lain di dunia ini.

Bila diandaikan, saya ingin membandingkan belajar bisnis dengan belajar naik sepeda. Pertama kali, kita melihat teman kita jago sekali naik sepeda. Pakai tangan satu, lepas kedua tangan, berbagai macam gaya mereka bisa praktekkan. Pada awalnya kita takut jatuh. Ada rasa malu kalau mau belajar. Tapi, berangsur-angsur kita ingin segera bisa. Kita mulai belajar mengayuh. Pada awalnya pelan, goyang-goyang, tidak seimbang. Besok kita coba lagi. Belakangan kita paham, kalau kita semakin pelan, kita akan makin mudah jatuh. Esoknya kita coba lagi.

Lambat laun, kita semakin jago. Waktu menjawab. Dan kita, tanpa disadari, merasakan titik di mana rasa percaya diri kita makin tinggi. Kita semakin lancar bersepeda. Kita bisa.

Demikian pula saat belajar berbisnis. Misalnya kita memutuskan untuk berjualan baju anak-anak. Kita beli sekodi dari pabrikan atau pedagang grosir. Simpel saja : ambil dengan harga Rp X, jual dengan harga Rp X ditambah keuntungan.

Beberapa hari kita lalui. Tapi ternyata lapak kurang laris, dan produk yang terjual tidak seberapa. Di tahap ini kita sebenarnya sudah belajar banyak. Pertama, soal keberanian memulai (penting). Kedua, bagaimana membaca arah pasar. Mungkin produk yang sedang tren di pasar adalah merek-merek tertentu, atau baju dengan model tertentu. Lain kali kita ke pedagang grosir, kita jadi paham seberapa banyak baju dengan model tertentu yang harus kita beli.

Lapak kembali mulai ramai. Beberapa calon pelanggan (yang biasanya cuma lihat-lihat tanpa beli) mulai cerewet dan tanya-tanya. "Bedanya model A dan model B apa ya, sis? Harganya selisih jauh sekali" dan kita pun membisu. Bingung tidak menjawab. Di sini kita belajar cara berkomunikasi dan dituntut mendalami keunggulan produk yang kita jual. Sering kan kita ke pameran atau expo, tapi begitu bertanya dengan SPG, jawabannya kurang memuaskan. Ini karena mereka memang hanya lebih fokus pada make up dan pakaian seksi, bukan memahami barang dagangan secara utuh.

Setelah itu, kita tahu ternyata ada pedagang lain yang menjual barang serupa. Di sini kita belajar berkompetisi, dan memahami etika bisnis. Jangan sekali-sekali melakukan tindakan tak sportif demi meraup keuntungan nan tak seberapa. Berjualan itu lebih ke arah menggapai berkah sebanyak-banyaknya daripada sekadar uang. Mungkin kita bisa berkolaborasi. Joinan istilah lainnya. Siapa tahu dengan bersinergi pelanggannya semakin banyak.

Bisa dilihat, hal-hal di atas sebenarnya hal-hal biasa yang lama-lama akan membuat kita semakin tangguh di dunia bisnis. Masih banyak lagi kemampuan yang harus kita kembangkan. Misalnya kemampuan negosiasi, tawar-menawar, memilah jenis-jenis pelanggan (sewot, berisik, sabar, banyak duit, kalo nawar kejam, ramah, sering kasih tip, dll), membaca harga pasar, melihat bahasa tubuh atau gerak mata, dan sebagainya. Ini pasti kita akan bisa pelajari. Sedikit, pelan-pelan.

Semoga tulisan ini berguna untuk kita semua. Salam.

Apa Itu Time Value of Money?

Tahukah Anda apa itu Time Value of Money? Di beberapa referensi, padanan kata dari istilah Time Value of Money (biasa disingkat TVoM) dalam Bahasa Indonesia adalah "Nilai Waktu Uang". Dalam tulisan kali ini, penulis ingin memberi pengertian Time Value of Money dengan sedikit contoh.

time value of money


Jika kita disuruh memilih diantara 2 hal berikut : diberi Rp 10 juta saat ini, atau Rp 10 juta tapi kita harus menunggu 1 tahun lagi? Kebanyakan kita akan memilih pilihan pertama. Alasannya sederhana, di kedua pilihan tersebut, kondisi yang tetap adalah nilai ekstrinsik uangnya (senilai Rp 10 juta). Namun uang Rp 10 juta saat ini, akan lebih bermanfaat bila ada sekarang daripada setahun yang akan datang.

Contoh lain lagi. Anda disuruh memilih antara Rp 10 juta saat ini, atau Rp 10.400.000 namun harus menunggu satu tahun yang akan datang (dengan asumsi interest/bunga sebesar 5% p.a)? Dari segi nilai ekstrinsik, Rp 10,4 juta lebih menggiurkan. Namun, bila Anda mengambil pilihan pertama, Rp 10 juta saat ini bila ditabung di instrumen investasi paling pesimis pun bisa menghasilkan Rp 10,5 juta setelah 1 tahun. Artinya, pilihan pertama, diberi Rp 10 juta saat ini, lebih menguntungkan.

Dengan kedua contoh tersebut, mudah bagi kita mengetahui alasan mengapa juragan pabrik selalu membayar gaji karyawannya di akhir bulan, mengapa orang lebih suka dengan installment / cicilan 0%, dan mengapa perusahaan lebih sering menunda pembayaran hutang sampai menit terakhir.

Semoga artikel ini berguna. Salam bisnis.

Menilai Bisnis Yang Sustainable

Dalam dunia industri, ada bidang-bidang bisnis yang sustainable (penulis agak sulit mencari padanan kata yang tepat. Mungkin "keberlangsungan"?). Misalnya, soal pendidikan. Mungkin trennya akan berubah, tapi tidak drastis. Contoh lain, tambang batubara. Mungkin trennya berubah, tapi tidak terlalu cepat. Orang akan butuh tempat pendidikan formal, dan untuk batubara, orang masih mencari sumber energi yang murah meriah (walau dampak lingkungannya sukar dipertanggungjawabkan).

growing business graphic chart


Bisnis-bisnis yang sustainability-nya lama, akan menumbuhkan semangat para pelaku usaha, karena mereka bakal "lebih jarang banting setir". Industri telekomunikasi misalnya, susah mati karena orang masih butuh untuk berkomunikasi. Apalagi yang sudah menyangkut hajat hidup orang banyak seperti makanan, obat-obatan (termasuk rumah sakit dan dunia medis), atau pakaian. Seperti yang penulis ungkapkan di awal, mungkin trennya bisa berubah sedikit, tapi tak sedemikian drastis.

Apakah semua bisnis yang umurnya dinilai pendek, sudah pasti tidak dilirik orang? Belum tentu juga. Kita ambil contoh saja sesuai apa yang dialami penulis. Dulu, bisnis warnet maju pesat, sehingga banyak sekali yang terjun di sini. Warnet menjamur, namun bisnis seperti ini lambat laun akan mulai tergeser dengan "harga bandwith" yang makin murah. Apa yang terjadi? Internet semakin affordable alias terjangkau, dan warnet mulai sepi. Orang bisa berselancar dan main game dari rumah sahaja.

Apakah ini pertanda bahwa bisnis ini tak pantas dilirik? Tidak juga. Sebelum memulai, salah satu pertanyaan yang penting adalah kapan saya balik modal (bahasa kerennya break even point)? Katakanlah kita pesimis sekali, dan memperkirakan bisnis tersebut akan mati dalam 2 tahun. Bila profitnya dalam waktu kurang dari 2 tahun amat sangat mencukupi baik untuk living cost, gaji karyawan, dll, bahkan untungnya berlipat-lipat, bukan tidak mungkin ini harusnya jadi bisnis yang patut diperhitungkan.

Jadi untuk bisnis yang "umur"-nya singkat, alias hanya tren sesaat, boleh jadi bukannya tidak menguntungkan, tapi kita lihat dulu apakah kita bisa banting setir di saat yang tepat. Bisnis dengan sustainability yang lama memang lebih baik, tapi kalau Anda tipikal kutu loncat yang lebih senang berpindah-pindah lapak dan berjuang mencari tipikal usaha yang cocok saya rasa tidak masalah, asalkan kapan tahu waktu yang tepat untuk masuk dan keluar. Jangan takut dan percayalah pada intuisi Anda.

Terus kalau gagal bagaimana? Ya coba terus sampai berhasil!

Apa Itu Opportunity Cost?

Secara sederhana, opportunity cost atau biaya peluang adalah biaya yang timbul karena memilih sebuah kegiatan bisnis tertentu dibanding kegiatan bisnis yang lain. Katakanlah Anda memiliki modal bisnis tambahan sebesar Rp 100juta. Dengan uang Rp 100juta tersebut, Anda memilih untuk menambah jumlah mesin, daripada menyewa ruko baru untuk ekspansi regional.


Kegiatan bisnis A : menambah jumlah mesin, menghabiskan dana yang sama dengan kegiatan bisnis B (menyewa ruko baru). Padahal, bila dihitung dan dilakukan riset sedikit, Anda bisa mengetahui bahwa menambah jumlah mesin baru tidak menghasilkan keuntungan yang sebanding bila Anda memilih untuk menyewa ruko baru untuk penetrasi pasar. Keputusan Anda untuk memilih kegiatan bisnis A, berakibat adanya opportunity cost (biaya peluang) Anda tidak bisa menghasilkan keuntungan sebesar ketika Anda memilih kegiatan bisnis B.

Opportunity cost bisa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saat Anda menunggu bis. Ada yang menghabiskan waktu dengan hanya sekadar melamun/termenung, atau tidur, atau membaca buku. Tentu, orang yang menghabiskan waktu dengan termenung, akan melahirkan opportunity cost bila dibandingkan orang yang menghabiskan waktu untuk membaca dan meningkatkan wawasan/pengetahuannya. Bila mau "diuangkan", bisa saja kita berandai-andai waktu yang digunakan orang untuk membaca ini disamakan dengan waktu untuk (katakan) bertransaksi bisnis.

Contoh lain yang lebih besar, yang dahulu pernah dekat dengan kita adalah saat harga BBM ingin dinaikkan guna mengurangi beban anggaran negara untuk subsidi. Uang yang dianggarkan sedemikian besar, yakni mencapai Rp 100 trilyun. Ini jumlah uang yang bukan main-main. Bila diibaratkan negara ini seperti sebuah perusahaan besar dengan aset gila-gilaan. Masalahnya, belum tentu semua orang melihatnya demikian. Orang (biasa) hanya menilai bahwa kenaikan harga BBM akan menimbulkan chaos yang lebih besar daripada ketika BBM tetap disubsidi. Padahal (menurut penulis), ada opportunity cost saat pemerintah lebih memilih untuk memanfaatkan anggara demi mempertahankan harga BBM.

Berapa besar uang yang dihasilkan oleh orang yang memilih untuk memanfaatkan waktu dengan baik? Berapa besar lost (kerugian) yang dialami orang yang salah memilih? Apakah benar, hanya pengalamanlah yang membuat orang akan cepat dan tepat mengambil keputusan? Anda yakin, saat Anda memilih untuk membaca tulisan ini hingga habis, tidak ada opportunity cost yang Anda terima?